Seperti kitab tebal yang kau buka, aku terselip didalamnya..
Di antara kata dan kalimat, kabur tak terbaca..

Sabtu, 19 Maret 2011

Menjadi Manusia

Tidak ada yang bisa membantah bahwa setiap orang punya cara sendiri menikmati tiap detik hidupnya. Merencanakan hal-hal yang diluar kuasanya, merasakan kepedihan setiap kali realitas mulai menertawakannya. Menikmati kehebatan inderanya, kepekaan bakatnya, bahwa ia penting dan berarti. Hampir saja aku melupakan bagaimana hal-hal seperti itu terjadi. Menikmati cahaya lilin yang aku pegangi, tapi hampir-hampir tidak tahu artinya bahagia dan puas. Lupa untuk menjadi manusia yang hidup tidak hanya dari kata makan, tidur dan bernafas. Sebenarnya mataku terbuka, tetapi bukan ku pakai untuk mengamati tetapi mengawasi. Tangan ku masih kuat tetapi terlalu cepat ku kepalkan. Aku tidak menikmatinya, benar-benar berujung pada kondisi semu dan tidak seru. Apakah itu berarti menghapus ego sudah cukup? Membiarkan detik mengganti wajahnya kemarin dengan rasa penuh hasrat akan makna menghargai kenangan? Bukan malah melewatkannya dengan alasan yang terlalu ilmiah? Saat kita menyaksikan pertunjukkan music bersama di antara bangku penonton, ketika kalian memilih duduk di bangku depan dan merasa menjadi bagian darinya. Mengamati tiap –tiap adegan dan sesekali mengikuti ekspresi pemain pertunjukkan. Sedang di waktu yang sama, aku berada di bangku terakhir di sudut kiri dan mengetahui alur cerita tapi sulit menggambarkannya sedetail mungkin. Karena aku sama sekali buta untuk mampu mengukur seberapa lebar senyuman sang ayah dalam cerita pertunjukkan tersebut atau seberapa banyak kostum yang digunakan tokoh utamanya kemarin. Lalu seperti mukjizat, aku menemukan pesan itu tadi siang. Belum waktunya untuk menyesali -katanya, ada waktu saat ini yang menanti untuk ditemui. Aku mendengarkan- sekali mengerti , maka aku harus berhenti dan menjejaki kaki. Karena sampai besog pagi, lilin itu harus tetap menerangi tapi aku tidak layak untuk terus menutup diri hanya karena- suara hati, tanpa melalui dan memasuki garis itu sendiri. Aku harus mampu jika tidak ingin melewatkan nikmat menjadi manusia. Setuju! Tak perlu menjadi pemain dalam pertunjukkan untuk bisa merasakan terangnya lampu sorot, atau sekedar mendengar riuh dan decak kagum penonton. Tidak perlu! akhirnya aku percaya itu. Kini,

sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar